Taksonomi Hijau Indonesia (THI) merupakan panduan bagi para pelaku usaha untuk menjalankan usaha maupun investasi berkelanjutan. THI merupakan panduan yang mengidentifikasi kriteria-kriteria hijau dari sektor ekonomi yang mendukung arah, strategi, kebijakan, dan tujuan Pemerintah Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pembangunan Rendah Karbon, dan Perubahan Iklim berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengembangan THI bertujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia dan menjadi dasar bagi seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dalam aktivitas ekonomi yang berkelanjutan termasuk pada sektor konstruksi.
Kebutuhan akan penyusunan THI dilakukan demi mendorong investasi yang memenuhi kriteria-kriteria hijau, mendorong inovasi produk pembiayaan/pendanaan/investasi dari sektor keuangan indonesia (bank, iknb, pasar modal) yang memenuhi kriteria-kriteria hijau, memudahkan pencatatan informasi dan pengawasan investasi yang sejalan dengan kriteria-kriteria hijau yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia dan dituangkan di dalam bagan taksonomi hijau indonesia. Penyusunan THI dilakukan berdasarkan regulasi yang ada, sehingga tidak akan ada perumusan baru dari kriteria hijau sektoral maupun kriteria hijau sub sektor. Selain itu, penyusunan THI ini turut mendukung kebutuhan inovasi pembiayaan pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif. Untuk itu, penyusunan THI sektor konstruksi menjadi salah satu upaya alternatif untuk mengatasi gap kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Dalam rangka mendukung usaha tersebut, Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengembangkan taksonomi hijau atau green taxonomy. THI ini turut didukung dengan adanya peraturan OJK Nomor 60 tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (green bond). Kegiatan usaha yang dapat dibiayai dari penerbitan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond) dapat berupa kegiatan usaha dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati darat dan air, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan, adaptasi perubahan iklim, produk yang dapat mengurangi penggunaan sumber daya dan menghasilkan lebih sedikit polusi (eco-efficient), bangunan berwawasan lingkungan yang memenuhi standar atau sertifikasi yang diakui secara nasional, regional, atau internasional, kegiatan usaha dan/atau kegiatan lain yang berwawasan lingkungan lainnya.
Selanjutnya, sektor jasa konstruksi turut mendukung pelaksanaan penyusunan THI melalui pemenuhan kriteria penyelenggaraan konstruksi berkelanjutan. Untuk itu, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian PUPR telah menyusun kriteria/threshold sektor Konstruksi dan sub sektor jasa konstruksi mengacu pada beberapa peraturan sebagai berikut:
- Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi;
- Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi;
- Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi;
- Peraturan Menteri PUPR Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan.
Adapun pemenuhan kriteria hijau untuk sektor jasa konstruksi meliputi tepat guna lahan, konservasi energi, konservasi air, penggunaan material ramah lingkungan, menjaga kualitas udara dan kebisingan, pengelolaan limbah, adaptasi bencana, pemberdayaan masyarakat, pembangunan yang responsif gender, mendukung interaksi masyarakat dan usaha lokal serta perlindungan kawasan lindung dan cagar budaya.
Dengan adanya penyusunan THI sektor konstruksi ini diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan secara holistik dan tidak hanya terbatas pada lingkungan Kementerian PUPR, tapi juga berlaku pada sektor konstruksi secara nasional. Hal ini sejalan dengan PP Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi yang mengamanatkan bahwa Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk mendirikan bangunan gedung dan/atau bangunan sipil harus memenuhi prinsip berkelanjutan pada seluruh sumber daya dan siklus hidup bangunan. Selain itu, sesuai dengan amanat Permen PUPR Nomor 9 Tahun 2021, para pelaku usaha dapat diberikan predikat konstruksi berkelanjutan bilamana telah memenuhi kriteria penyelenggaraan konstruksi berkelanjutan. Pemberian predikat dilakukan melalui penilaian kinerja yang dilakukan oleh tim dan ditetapkan oleh Menteri PUPR. Pemberian predikat konstruksi berkelanjutan pada pelaku usaha akan diberikan sesuai dengan tahapan penyelenggaraan baik untuk jenis usaha konsultansi konstruksi, usaha pekerjaan konstruksi, maupun usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi. Kedepannya, dengan adanya THI sektor konstruksi, para pelaku usaha yang telah mendapatkan predikat konstruksi berkelanjutan akan memiliki kemudahan untuk mendapatkan akses pembiayaan berwawasan lingkungan (green fund).
Pada akhirnya, penyusunan THI merupakan upaya transformasi menuju alternatif pembiayaan pembangunan yang mendukung ekonomi hijau dimana tidak hanya sekedar menghijaukan komponen/sektor-sektor dalam ekonomi, namun juga menjamin adanya upaya membentuk dan menerapkan kombinasi yang selaras antara kebijakan ekonomi, investasi dan insentif yang dilakukan.
Untuk dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dibutuhkan kolaborasi dan sinergi seluruh pihak. Harapan kedepannya, dengan adanya THI ini agar para pelaku usaha dapat mulai segera menerapkan prinsip konstruksi berkelanjutan guna menurunkan ketergantungan terhadap karbon (carbon dependency), mengurangi dampak lingkungan, melindungi ekosistem yang rentan dan menurunkan kemiskinan, dan meningkatkan keadilan sosial guna pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. *