Jakarta – “Percepatan sertifikasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan, mengingat Pembangunan Infrastruktur membutuhkan tenaga kerja konstruksi bersertifikat sebagai pelaksananya. Dengan demikian Pembangunan Infrastruktur sebagai pendorong perekonomian suatu negara dapat berjalan dengan lancar”, demikian disampaikan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanudin saat memberikan arahan pada acara Rapat Koordinasi Percepatan Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi Tahun 2019 di Lingkungan Internal Kementerian PUPR pada Wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, Rabu (07/8) di Jakarta.
Pada kesempatan kali ini pula dilakukan Pemberian Piagam Penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) atas Rekor Sertifikasi Kepada Tenaga Kerja Konstruksi Terbanyak kepada Menteri PUPR yang dalam hal ini diwakili oleh Direktur Jenderal Bina Konstruksi. Pemberian Piagam MURI diberikan langsung oleh Direktur MURI Osmar Semesta Susilo.
Sebagaimana diketahui, UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mewajibkan seluruh pengguna maupun penyedia jasa konstruksi harus bersertifikat sesuai dengan bidangnya dan mengunakan tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat pula. Bila tidak dilaksanakan maka akan diberikan sanksi sebagaimana tercantum pada Pasal 99.
Selain itu juga disampaikan Keputusan Menteri PUPR No. 7 Tahun 2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui penyedia dan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam kaitannya dengan ketentuan kewajiban pengguna tenaga kerja konstruksi bersertifikat.
Hal ini tentunya menjadi perhatian dimana dari data E-Monitoring jumlah paket di Ditjen SDA, Bina Marga, Cipta Karya dan Penyediaan Perumahan yang sudah terkontrak per 1 Agustus 2019 lebih kurang mencapai 400 paket fisik yang diperkirakan akn mempekerjakan tenaga kerja konstruksi antara 15.000 – 20.000 pekerja konstruksi. Sehingga diharapkan jumlah tenaga kerja konstruksi yang diharapkan tersebut sudah tersertifikat.
“Saat ini, sertifikasi bukanlah lagi merupakan syarat lelang, melainkan sudah menjadi syarat bekerja di bidang jasa konstruksi. Hal tersebut tertuang dalam Kepmen PUPR No. 7 Tahun 2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia. Sehingga tidak ada lagi alasan setiap yang dikerja di bidang jasa konstruksi tidak memiliki sertifikat”, tegas Syarif.
Walaupun dengan banyaknya jumlah paket yang ada, tentunya tidak hanya kuantitas yang terpenuhi, tetapi juga kualitas harus dapat sesuai dengan kebutuhan dilapangan. Dirjen Bina Konstruksi menekankan bahwa yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah pelaku konstruksi siap melaksanakan UU No. 2 Tahun 2017 ini, karena kalau tidak nantinya akan tersaingi dan bahkan tersingkirkan oleh tenaga-tenaga kerja asing.
Apalagi jika dilihat dari jumlah tenaga kerja konstruksi menurut data dari BPS Tahun 2018 yaitu sebanyak 8,3 juta, tetapi yang memiliki sertifikat hanya 10% dari total tersebut. Untuk itu, LPJK juga akan membantu sertifikasi sebanyak 300.000 tenaga kerja konstruksi. Sehingga, di tahun 2019, direncakan tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat akan mencapai 512.000 tenaga kerja konstruksi. Besarnya jumlah tersebut tentunya tidak akan mengurangi kualitas yang akan dihasilkan dari sertifikasi tersebut.
Sehingga, untuk mencapai percepatan ini tentunya dibutuhkan kerjasama dengan semua pihak, termasuk stakeholders di bidang jasa konstruksi, seperti Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten, Swasta, baik kontraktor dan konsultan BUMN maupun Non BUMN, serta Perguruan Tinggi, Politeknik dan SMK.
“Koordinasi terhadap pemecahan masalah harus tetap dilaksanakan, agar kita dalam bekerja dapat konsisten dengan aturan yang ada, sehingga bukan hanya mencetak lembaran sertifikat yang banyak, tetapi sertifikat yang brkualitas”, tutup Syarif.
Turut hadir mendampingi Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Putut Marhayudi, Direktur Bina Kompetensi dan Produktivitas Konstruksi Ober Gultom, dan Kepala Balai Jasa Konstruksi Wilayah III Jakarta Riky Aditya Nazir.(cla/tw)