LAHIRNYA UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI NO.2 TAHUN 2017 MENJADI JAWABAN KEBUTUHAN DINAMIKA SEKTOR KONSTRUKSI DI INDONESIA

Undang-undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah resmi lahir menggantikan Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999, yang sudah berlaku selama lebih kurang 17 tahun. Undang-Undang yang baru ini merupakan jawaban terhadap dinamika perubahan sektor jasa konstruksi di Indonesia saat ini.

Undang-undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah resmi lahir menggantikan Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999, yang sudah berlaku selama lebih kurang 17 tahun. Undang-Undang yang baru ini merupakan  jawaban terhadap dinamika perubahan sektor  jasa konstruksi di Indonesia saat ini.

Untuk mensosialisasikan Undang-undang ini, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR melaksanakan Sosialisasi Undang-undang No.2 Tahun 2017, Kamis (9/3) di Jakarta. Undang-undang ini hadir sebagai bagian dari upaya menuju tata kelola pemerintahan yang baik, tuntutan era keterbukaan dan harmonisasi dengan peraturan sektor lain yang berlaku  setelah diterbitkannya Undang-Undang Jasa Konstruksi tahun 1999,  seperti UU No. 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan terkait lainnya.

Tantangan konstruksi di masa mendatang sangat berat, karenanya perlu ada pengaturan yang menyeluruh, seperti  rantai pasok, system delivery dalam sistem pengadaan barang dan jasa, mutu konstruksi, serta kebutuhan dalam penyelesaian sengketa konstruksi”, demikian disampaikan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

UU Jasa Konstruksi yang baru, terdiri dari 14 Bab dan 106 pasal. UU Jasa Konstruksi ini tidak lagi berorientasi hanya kepada urusan bidang PUPR tetapi mencakup penyelenggaraan pekerjaan konstruksi di Indonesia secara utuh. Beberapa substansi penting antara lain: Adanya pembagian peran berupa tanggung jawab dan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jasa konstruksi; Menjamin terciptanya penyelenggaraan tertib usaha jasa konstruksi yang adil, sehat dan terbuka melalui pola persaingan yang sehat.

Substansi lainnya : Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi melalui, sebagai bagian kemitraan dan sistem informasi dari pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi; Lingkup pengaturan yang diperluas tidak hanya mengatur usaha jasa konstruksi melainkan mengatur rantai pasok sebagai pendukung jasa konstruksi dan usaha penyediaan bangunan.

Substansi yang penting berikutnya adalah adanya perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat penyelenggaraan jasa konstruksi. Perlindungan ini termasuk perlindungan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi, dimana pada RUU tentang Jasa Konstruksi yang baru tidak terdapat klausul kegagalan pekerjaan konstruksi hanya ada klasul kegagalan bangunan. Hal ini sebagai perlindungan antara pengguna dan penyedia jasa saat melaksanakan pekerjaan konstruksi;

Tidak kalah penting, Perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia dalam bekerja di bidang jasa konstruksi, termasuk pengaturan badan usaha asing yang bekerja di Indonesia, juga penetapan standar remunerasi minimal untuk tenaga kerja konstruksi diatur pula dalam UU Jasa Konstruksi yang baru. Selain itu, terdapat pula substansi jaring pengaman terhadap investasi yang akan masuk di bidang jasa konstruksi; serta adanya jaminan mutu penyelenggaraan jasa konstruksi yang sejalan dengan nilai-nilai keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4).

Workshop Dewan Sengketa Konstruksi

Setelah acara Sosialisasi UU Jasa Konstruksi, dilaksanakan Workshop Dewan Sengketa Konstruksi. Acara ini dilakukan mengingat rentannya pelaksanaan pekerjaan konstruksi menemui konflik atau sengketa antara pihak yang terlibat di dalamnya. Bahkan dapat dikatakan sengketa dalam permasalahan konstruksi merupakan persoalan yang endemik.

Workshop ini menghadirkan pembicara antara lain : Dirjen Bina Konstruksi Yusid Toyib, Direktur Pengembangan Jaringan Jalan Direktorat Jenderal Bina Marga Rachman Arief Dienaputra, President of the Dispute Resolution Board Foundation Region 2 Levent Irmark, Executive Director Dispute Resolution Board Foundation Ann McGough, dan Sekretaris Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI) Sarwono Hardjomuljadi.

Dirjen Bina Konstruksi mengatakan bahwa seringkali sengketa diselesaikan melalui jalur litigasi yang ditangani tidak oleh ahli bidang konstruksi sehingga menghasilkan putusan yang kurang adil bagi para pihak yang bersengketa. Selain itu prosedur pengadilan yang lama dan berbelit-belit juga dianggap memberikan udara yang tidak begitu sehat dalam perkembangan bisnis sektor konstruksi.

Ada lagi proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang kita kenal dengan Arbitrase. Namun hal inipun tidak lebih baik daripada jalur litigasi, dikarenakan biaya yang cukup mahal. Kemudian juga dalam kedua proses penyelesaian sengketa ini, hubungan antara para pihak yang bersengketa memburuk dan sering kali pekerjaan konstruksi tidak terselesaikan.

“UU Jasa Konstruksi memberikan dukungan keberadaan Dewan Sengketa/ Dispute Board  (DB) sebagai salah satu jalan untuk menekan angka pertumbuhan sengketa konstruksi. Jadi nanti dewan sengketa akan meluruskan segala klaim yang diajukan baik oleh penyedia jasa ataupun pengguna jasa dalam pekerjaan konstruksi. Mulai dari perencanaan, sampai dengan masa operasional dan pemeliharaan sebelum berkembang menjadi sengketa,”, ujar Dirjen Bina Konstruksi. *

 

 

SEBARKAN ARTIKEL INI!