DJBK-JAKARTA. Banyaknya hambatan dalam penyelenggaraan perumahan khususnya dalam penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), mendorong Pemerintah dan stakeholders terkait mencari solusi. Salah satu langkah awalnya adalah melalui suatu forum untuk mencari masukan dari pihak-terkait. Hal inilah yang menjadi dasar Lembaga Pengkajian Perumahaan dan Perkotaan Indonesia, The Housing and Urban Development Institute (The HUD Institute) mengadakan Dialog Nasional “Menuju penyelenggaraan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang berkualitas, berkelanjutan, dan berkeadilan di daerah”, pada Kamis (16/03) di Jakarta.
DJBK-JAKARTA. Banyaknya hambatan dalam penyelenggaraan perumahan khususnya dalam penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), mendorong Pemerintah dan stakeholders terkait mencari solusi. Salah satu langkah awalnya adalah melalui suatu forum untuk mencari masukan dari pihak-terkait. Hal inilah yang menjadi dasar Lembaga Pengkajian Perumahaan dan Perkotaan Indonesia, The Housing and Urban Development Institute (The HUD Institute) mengadakan Dialog Nasional “Menuju penyelenggaraan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang berkualitas, berkelanjutan, dan berkeadilan di daerah”, pada Kamis (16/03) di Jakarta.
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Yaya Supriyatna yang hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut menjelaskan tentang keterkaitannya pada Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dengan Perumahaan Rakyat. Menurutnya, dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi pasal 5 (1) yang pada intinya menyebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi, yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 30 ayat (5) bahwa pesyaratan akreditasi asosiasi badan usaha ditetapkan dengan mempertimbangkan kategori asosiasi sesuai anggaran dasar/anggaran rumah tangga yang meliputi asoasiasi yang bersifat umum atau khusus serta asosiasi yang memiliki cabang atau tidak cabang.
“Developer atau pengembang yang mengerjakan pekerjaan konstruksi seperti pembangunan rumah, mereka harus memiliki sertifikat badan usaha. Sedangkan apabila developer tersebut turut menjadi pelaksana pembangunan perumahan, mereka wajib juga memiliki sertifikat tenaga kerja konstruksi sesuai UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi ” Jelas Yaya.
Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman pasal 5 ayat (1) menjelaskan bahwa negara bertanggungjawab atas penyelenggaraan perumahaan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan pasal 13 huruf j bahwa pemerintah dalam melaksanakan pembinaan perumahan harus melakukan sertifikasi, kualifikasi, dan registrasi keahlian kepada orang atau badan yang menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
Diharapkan kedepannya dengan sinkronisasi kedua Undang-Undang ini dapat menghasilkan penataan, koordinasi dan peningkatan peran asosiasi pengembang dan pengembang, meningkatkan layanan kepada masyarakat, melindungi konsumen, dan memastikan pengembangan yang berkualitas yang berperan dalam penyediaan bangunan. (dri/tw)