JAKARTA – Salah satu strategi Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional ditengah pandemi Covid-19 adalah dengan melanjutkan pembangunan infrastruktur. Hal tersebut terlihat dari Anggaran Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur tahun 2021 mencapai Rp 414 Triliun, yang difokuskan pada upaya pemulihan ekonomi nasional, penyediaan layanan dasar serta peningkatan konektivitas.
“Oleh sebab itu kita harus mempersiapkan jasa konstruksi kita, baik SDM, teknologi, material peralatan, dan lain sebagainya agar siap melaksanakan percepatan Pembangunan Infrastruktur”, demikian disampaikan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Trisasongko Widianto saat membuka acara Pekan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang mengambil tema ‘Menuju Indonesia Maju melalui Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang Profesional’, Senin (23/11) secara virtual.
Meski demikian, jasa konstruksi masih akan menghadapi beberapa tantangan, salah satunya dengan adanya Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja. Beberapa perubahan atau penyesuaian pada sektor jasa konstruksi tentunya memerlukan pemahaman lebih lanjut agar tidak terjadi kerancuan di masyarakat. Karena itu pada kesempatan ini adalah salah satu moment baik agar point pada Undang-Undang Cipta Kerja dapat dipahami.
Pada kesempatan ini, Direktur Pengembangan Jasa Konstruksi Putut Marhayudi menyampaikan mengenai Kebijakan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasca Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Terdapat 33 Pasal pada UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi diubah dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang antara lain mencakup pengaturan : Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota/Kabupaten ; Perijinan Berusaha ; Kualifikasi Usaha ; Usaha Penyediaan Bangunan (penghapusan); dan Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi.
Sedangkan 10 Pasal pada UU No. 2 Tahun 2017 diamanatkan untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah yaitu yang terkait : kualifikasi usaha ; perizinan berusaha; sertifikasi dan registrasi badan usaha; usaha jasa konstruksi asing ; penyelenggaraan jasa konstruksi ;standar K4; perizinan LPPK ; registrasi pengalaman professional; penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan masyarakat jasa konstruksi ; serta pembentukan Lembaga.
Selain itu beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah Perubahan istilah dari izin usaha menjadi perizinan berusaha, sehingga dimungkinkan cakupannya lebih luas. Kemudian terdapat juga penghapusan substansi usaha penyediaan bangunan karena masuk ranah investasi bukan jasa konstruksi, serta sinkronisasi pengaturan tenaga kerja konstruksi asing dengan pengaturan di bidang ketenagakerjaan.
“Memang memerlukan waktu bagi kita semua untuk memahami materi di Undang-Undang Cipta Kerja. Yang terpenting masyarakat jangan mudah terhasut oleh informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumbernya. Cari dan tanyakan dari sumber-sumber terpercaya”, ujar Putut. *