Kementerian PUPR Mendukung Upaya dan Inisiasi untuk Mewujudkan Pelaksanaan Kontrak Konstruksi yang Efektif, Efisien, dan Akuntabel

Sebagai salah satu pilar penting dalam mendorong tercapainya Visi Indonesia Maju 2045, percepatan pembangunan infrastruktur yang merata ke seluruh wilayah Indonesia terus masif dilakukan melalui peningkatan produktivitas sektor konstruksi.

Untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur tersebut, terdapat tantangan funding gap yang cukup besar. Pinjaman serta Hibah Luar Negeri (PHLN) merupakan salah satu skema pembiayaan pada proyek-proyek strategis pemerintah yang digunakan untuk menutupi beban anggaran seiring meningkatnya kebutuhan pembangunan.

Di Kementerian PUPR sendiri, dari total alokasi anggaran Tahun 2024 sebesar Rp 149,71 Triliun, 18% diantaranya menggunakan skema pendanaan PHLN, baik yang berasal dari Lembaga Keuangan Internasional maupun bentuk pinjaman bilateral dari Pemerintah Luar Negeri maupun pinjaman luar negeri lainnya. Fokus pembangunan di TA 2024 ini adalah untuk penyelesaian pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan, pelaksanaan direktif dan Instruksi Presiden, serta pelaksanaan program OPOR (Operasi, Pemeliharaan, Optimalisasi dan Rehabilitasi).

Seiring dengan tuntutan percepatan pembangunan infrastruktur, serta ketentuan pelaksanaan pekerjaan pada skema pendanaan PHLN yang memiliki perbedaan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di dalam Negeri, memiliki potensi perbedaan pemahaman di lapangan, khususnya pada saat pelaksanaan kontrak konstruksi, yang dapat memicu terjadinya sengketa konstruksi antar para pihak.

“Walaupun kita pahami bersama, bahwa dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, suatu perbedaan pendapat merupakan keniscayaan. Namun, apabila tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi sengketa konstruksi” ucap Direktur Jenderal Bina Konstruksi, Abdul Muis yang mewakili Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono dalam sambutannya pada acara Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Ahli Dewan Sengketa Konstruksi (PADSK) dan Society of Construction Law Indonesia (SCLI), bekerja sama dengan Dispute Resolution Board Foundation (DRBF) dan Universitas Pekalongan pada Kamis (18/7) di Jakarta.

Menurut Abdul Muis, salah satu langkah konkrit untuk mencegah terjadinya sengketa adalah dengan melakukan penyelarasan dan harmonisasi antara standar kontrak yang berlaku nasional dengan standar kontrak internasional.

“Hal ini dimaksudkan agar para pihak yang terlibat memiliki persamaan persepsi dalam melaksanakan suatu kegiatan konstruksi sehingga dapat meminimalisir terjadinya dispute.” Tutur Abdul Muis.

Abdul Muis menambahkan bahwa pemerintah akan terus mendukung upaya dan inisiasi baik dari seluruh stakeholder untuk mewujudkan pelaksanaan kontrak konstruksi yang efektif, efisien, akuntabel dan tentu saja minim potensi sengketa. “Saya berharap, melalui konferensi ini, kita dapat berkolaborasi dan bersinergi untuk menjembatani ketentuan dalam FIDIC dengan peraturan serta kebijakan nasional guna meminimalisir potensi sengketa kontrak konstruksi” pungkas Abdul Muis menutup sambutannya. (*Ji)

SEBARKAN ARTIKEL INI!