Dengan adanya Undang-undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai pengganti Undang-undang No.18 Tahun 1999, peran pemerintah daerah akan lebih banyak dalam melakukan pembinaan jasa konstruksi. Demikian disampaikan Direktur Bina Kompetensi dan Produktivitas Konstruksi Masrianto, yang mewakili Dirjen Bina Konstruksi, pada Sosialisasi UUJK yang dilaksanakan di Ternate, Kamis (30/3).
Dengan adanya Undang-undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai pengganti Undang-undang No.18 Tahun 1999, peran pemerintah daerah akan lebih banyak dalam melakukan pembinaan jasa konstruksi. Demikian disampaikan Direktur Bina Kompetensi dan Produktivitas Konstruksi Masrianto, yang mewakili Dirjen Bina Konstruksi, pada Sosialisasi UUJK yang dilaksanakan di Ternate, Kamis (30/3).
“Hal ini disebabkan faktor bahwa Pemerintah daerah menjadi ujung tombak peningkatan kapasitas dan kompetensi sektor konstruksi. Dengan kata lain kunci daya saing sektor konstruksi Nasional ada di tangan pemerintah daerah, terutama untuk menghadapi persaingan global” ujar Masrianto.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah bukan sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap pembinaan konstruksi di daerah, tetapi untuk memperluas dan mempercepat pelaksanaan pembinaan konstruksi nasional.
Untuk menjamin mutu pekerjaan konstruksi serta kehandalan sektor konstruksi maka sertifikasi kompetensi kerja bidang jasa konstruksi diwajibkan dalam UUJK No.02 Tahun 2017. Dengan demikian tenaga kerja konstruksi Indonesia harus memiliki sertifikat konstruksi terampil atau ahli. Untuk mewujudkannya dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi seperti LPJKN dan BNSP.
Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Bina Konstruksi melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan sumber daya konstruksi yang bersertifikat melalui berbagai jenis pelatihan seperti Pelatihan On The Job Training atau dengan menghampiri para pekerja konstruksi di lokasi pekerjaannya; Pelatihan dengan menggunakan Mobile Training Unit (MTU) untuk mempermudah para tenaga kerja konstruksi di seluruh pelosok Indonesia; Pelatihan jarak jauh (distance learning) melalui internet yang tidak mengharuskan pembelajaran tatap muka; dan terakhir pelatihan mandiri yang dilakukan oleh mandor proyek yang sebelumnya sudah diberi pembekalan untuk melatih para pekerja konstruksi (tukang) hingga layak mendapatkan sertifikat. Pelatihan-pelatihan tersebut diharapkan dapat melahirkan tenaga kerja konstruksi bersertifikat, sehingga target 750.000 tenaga kerja konstruksi bersertifikat dapat tercapai.
UUJK No.02 Tahun 2017 menjelaskan bahwa tenaga kerja asing hanya boleh menjabat jabatan tertentu atau tidak boleh menjadi pemimpin penyedia jasa. Tenaga kerja konstruksi asing juga wajib memiliki Rencana Pengembangan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Ijin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang sudah teregistrasi Menteri serta wajib melakukan alih pengetahuan dan teknologi atau Transfer Knowledge.
Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono pada Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI, Desember tahun lalu, bahwa RUU Jasa Konstruksi (saat ini telah diundangkan menjadi UU No.2 Tahun 2017) telah mengakomodir perubahan baru dan telah mengikuti dinamika saat ini. Perubahan yang pertama adalah adanya perlindungan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi. Kedua, adanya pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan jasa konstruksi.
Ketiga adanya perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di bidang jasa konstruksi, termasuk pengaturan tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia. Empat, adanya jaminan mutu pekerjaan konstruksi melalui proses sertifikasi dan penjaminan pekerjaan. Terakhir, adanya keterbukaan informasi melalui sistem informasi yang terintegrasi sebagai upaya pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi.
Pada sosialisasi ini disampaikan pula tentang kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi. Dimana patut diakui bahwa dalam penyelenggaraan pekerjaan bidang konstruksi terkadang ditemui penyimpangan sehingga merambah ke ranah hukum. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya pemahaman substansi atas kejadian kegagalan bangunan pada pekerjaan konstruksi. “Pada UU tentang Jasa Konstruksi yang baru ini yang diatur bukan kegagalan pekerjaan konstruksi, melainkan kegagalan bangunan. Hal ini sebagai perlindungan antara pengguna dan penyedia jasa saat melaksanakan pekerjaan konstruksi”, tambah Masrianto.
Adapun pembahasan substansi lainnya yang di paparkan dalam sosialisasi ini ialah mengenai Remunerasi minimal terhadap pekerja konstruksi, penyedia Bangunan, pengaturan tenaga kerja asing, jaring pengaman terhadap investasi yang akan masuk dibidang jasa konstruksi, pengaturan sanksi bagi para pelaku bidang jasa konstruksi, serta peran pengawasan peran masyarakat terhadap pelaksanaan konstruksi.
Diharapkan melalui kegiatan sosialisasi Undang-undang no 2 tahun 2017 ini menjadi sarana terwujudnya sektor konstruksi yang kokoh, andal, berdaya saing, berkualitas dan berkelanjutan. Di saat yang sama dilakukan pula Sosialisasi Undang-undang No.2 Tahun 2017 di beberapa wilayah seperti di Balikpapan, Makassar, Surabaya, Palembang, dan Batam. (tw)