Jakarta – Terjadi ketidaksesuaian dalam konsep sertifikasi di Indonesia, dimana komposisi jumlah tenaga ahli utama sebanyak 4%, tenaga ahli madya sebanyak 53% dan tenaga ahli muda sebanyak 43%. Dari data tersebut terlihat bahwa terjadi kesenjangan sebanyak 10%. Inilah yang mendorong Kementerian PUPR untuk membuat menjadi lebih rasional dengan mencetak jumlah tenaga ahli muda yang harus lebih banyak dari ahli madya, melalui percepatan sertifikasi SKA Muda Fresh Graduate Bidang Jasa Konstruksi, Hal tersebut yag disampaikan Direktur Jenderal Bina Kontruksi, Syarif Burhanuddin pada saat memberikan arahan pada Rapat Koordinasi Percepatan Sertifikasi SKA Muda Fresh Graduate Bidang Jasa Konstruksi pada Perguruan Tinggi di Jakarta. Kamis, (7/2)
Selanjutnya Syarif menyampaikan bahwasanya upaya percepatan Sertifikasi SKA Muda dimulai dari sumbernya, dan sumber tenaga ahli adalah di Perguruan Tinggi sehingga perlu dilakukan program link and match, bagaimana mencetak SDM Konstruksi terutama dari fresh graduate sehingga saat lulus langsung mendapatkan dua ijazah, satu ijazah sarjana teknik dan satunya lagi sebagai tenaga ahli muda dengan bidang sesuai yang diharapkan.
“Jika sesuai dengan menakismenya, seseorang yang bisa memiliki SKA harus berpengalaman, sehingga dalam percepatan ini nantinya tentu tidak mengurangi kualitas dimana mekanisme yang ada dalam syarat sertifikasi harus tetap dpenuhi yaitu melalui proses magang dengan jangka waktu tertentu” Ujar Syarif.
Lulusan Perguruan Tinggi ini nantinya juga harus mempunyai gelar professional yaitu Insinyur. Sehingga sekarang kita harus membedakan antara Sarjana Teknik dan Insinyur, karena tidak semua Sarjana Teknik adalah Insinyur. Sesuai dengan hasil rapat Dewan Insinyur Indonesia terdapat banyak kriteria yang menajadi acuan seperti adanya perubahan dari Insinyur menjadi Sarjana Teknik yang salah satunya dikarenakan oleh perubahan angka kredit yang harus dipenuhi. Dalam dunia profesi harus ada pengakuan sebagai insinyur, sehingga dalam beberapa program keinsinyuran yang sifatnya satu tahun atau sesuai dengan program masing-masing Perguruan Tinggi.
Berdasarkan UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, mewajibkan semua penyedia maupun pengguna jasa wajib menggunakan tenaga ahi yang bersertifikat, karena berkaitan dengan remunerasi yang diberikan dimana akan disesuaikan dengan tingkat kompetensinya dan juga akan dikenai sanksi berupa dikeluarkan dari temat bekerja jika terbukti pekerja tersebut tidak bersertifikat.
Kementerian PUPR terus bekerjasama dengan LPJK terkait standar yang ditetapkan PII dalam melahirkan Insinyur Profesi, dimana ujungnya nanti akan melahirkan standar yang sama dengan yang dikeluarkan oleh LPJK dalam proses SKA. Sehingga Pemerintah terus menciptakan jumlah tenaga ahli yang bersertifikat sesuai dengan kebutuhan, melalui kerjasama sertifikasi. Selain itu juga, perlu dilakukan ToT bagi para dosen, dimana setiap dosen harus memiliki sertifikat tenaga ahli minimal madya sesuai dengan bidang keilmuan yang diajarkan.
Rapat koordinasi ini bertujuan dalam hal percepatan SDM, dimana pembangunan infrastruktur yang cepat seperti sekarang ini tidak sejalan dengan jumlah tenaga ahli yang tersedia terutama tenaga ahli muda, sehingga diperlukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi yang merupakan salah satu sumber SDM Jasa Konstruksi dalam hal percepatan sertifikasi.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi menghimbau rapat koordinasi ini dapat melahirkan komitmen bahwa Perguruan Tinggi harus dapat menyiapkan program ini dengan syarat-syarat seperti yang kita harapkan tadi dan pemerintah siap melakukan upaya-upaya dalam pemenuhan syarat-syarat tersebut.
“Sehingga mereka lulus bukan menjadi pengangguran baru tetapi yang kita harapkan mereka lulus bisa langsung dipakai dengan masyarakat”, Tegas Syarif
Pada rapat tersebut turut hadir Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Dekan Fakultas Teknik dan Ketua USTK LPJK yang ada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.(cla/hr)