Semarang – Indonesia menjadi pasar konstruksi terbesar keempat di ASIA serta menjadi pasar konstruksi terbesar pertama di ASEAN, hal ini menjadi peluang menarik bagi para investor untuk masuk ke Indonesia. Namun hal ini belum diimbangi dengan jumlah tenaga kerja kompeten yang ditunjukkan dengan sertifikat yang baru 5,9 % dari total 8,1 juta Tenaga kerja konstruksi.
Oleh karena itu, perlu upaya seluruh stakeholders konstruksi untuk dapat mempercepat sertifikasi tenaga kerja konstruksi, dan salah satunya adalah Perguruan Tinggi. Peran Perguruan Tinggi sebagai pemasok utama calon tenaga ahli muda sangatlah besar, karena dari sanalah akan lahir para tenaga ahli muda yang nantinya akan terjun di industri konstruksi, sehingga perguruan tinggi dituntut untuk dapat menghasilkan solusi kekinian yang terkait dengan isu strategis bidang konstruksi seperti sustainable construction, value engineering, BIM dan lain-lain.
“Saya menghimbau, perguruan tinggi tidak hanya membekali mahasiswanya dengan ijazah saja tapi juga dibekali dengan kompetensi berupa sertifikat tenaga ahli muda agar nantinya lulusan-lulusan kita dapat diakui serta dapat bersaing bukan hanya di Indonesia saja” demikian disampaikan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin, saat memberikan sambutan pada kegiatan Bimbingan Teknis Calon Ahli Muda Bidang Konstruksi Melalui SIBIMA Konstruksi, Jumat (26/10) di Semarang.
Sementara itu, menurut data yang dihimpun dari ILO dan BAPPENAS menyatakan bahwa “Indonesia Minim Tenaga Ahli”. Indonesia akan menikmati bonus demografi pada 2020 – 2030, namun menurut proyeksi ILO bahwa hal ini tidak diikuti dengan ketersediaan tenaga ahli. Sesuai dengan proyeksi tenaga kerja 2020 bahwa Indonesia akan memiliki 126,4 juta orang tenaga kerja konstruksi, dimana jumlah tenaga ahli hanya sekitar 10,7% saja.
Di sisi regulasi, Pemerintah telah memberlakukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengamanatkan bahwa setiap pelaku jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi. Sehingga, baik penyedia jasa maupun pengguna jasa wajib menggunakan tenaga kerja yang bersertifikat. “Kalau punya sertifikat, akan lebih diutamakan dalam dunia pekerjaan, selain itu juga dari sisi kebijakan remunerasi tenaga kerja yang memiliki keahlian akan dihargai lebih mahal, yang dilihat berdasarkan pengalaman kerja, latar belakang pendidikan, dan keahlian yang dibuktikan dari sertifikat keahlian, yaitu dengan remunerasi minimal sebesar tiga puluh juta rupiah”, ungkap Dirjen Bina Konstruksi.
Untuk menunjang hal tersebut pemerintah mengeluarkan banyak program peningkatan kompetensi baik kompetensi tenaga ahli dan tenaga terampil seperti pelatihan, bimbingan teknis dan fasilitasi uji. Salah satu inovasi yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yaitu meluncurkan pelatihan jarak jauh bidang konstruksi yang sudah berbasis sistem informasi yaitu SIBIMA (Sistem Informasi Belajar Intensif Mandiri) Bidang konstruksi. Peserta yang lulus pelatihan ini, akan mendapatkan sertifikat pelatihan yang dapat digunakan sebagai pengganti pengalaman 1 tahun bagi calon tenaga ahli muda pada saat mengajukan Sertifikat Kompetensi Ahli (SKA) ke LPJKP. Pelatihan jarak jauh SIBIMA Konstruksi ini dapat diikuti oleh masyarakat di seluruh Indonesia dengan syarat minimal semester VII, mahasiswa yang akan wisuda, freshgraduate dan alumni. Dengan jumlah lulusan pelatihan jarak jauh SIBIMA Konstruksi dari tahun 2017 sampai dengan Agustus 2018 telah mencapai 26.000 orang, tentunya dapat menjadi pendongkrak dalam percepatan mencetak para tenaga ahli muda di Indonesia.
Tingginya antusias para peserta Bimbingan Teknis Calon Ahli Muda Bidang Konstruksi terlihat dari banyaknya jumlah peserta yaitu mencapai 1132 orang yang berasal dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Semarang dan sekitarnya. Para calon tenaga ahli muda bidang konstruksi ini nantinya akan mengambil 3 jabatan kerja, yaitu: Ahli Muda Manajemen Konstruksi Bangunan Gedung, Kepala Pengawas Pekerjaan Jalan dan Jembatan dan Ahli Muda K3 Konstruksi. (cl/tw)