Beberapa waktu yang lalu Presiden RI menyampaikan bahwa selama empat tahun ini Infrastruktur dibangun secara massif dan merata di seluruh pelosok tanah air, bukanlah untuk kepentingan saat ini ataupun satu dua tahun ke depan, melainkan untuk membangun pondasi bagi lompatan kemajuan di masa mendatang. Pemerataan pembangunan Infrastruktur tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi saja, tapi lebih dari itu pemerataan Pembangunan Infrastruktur merupakan upaya memperkuat NKRI, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjadi modal agar dapat bersaing dengan Negara-negara lain.
Untuk itulah Pembangunan Infrastruktur menjadi fokus utama Pemerintah, dan untuk mengimbangi besarnya Pembangunan Infrastruktur tersebut dibutuhkan kesiapan rantai pasok konstruksi, material dan peralatan, teknologi, dan kesiapan kompetensi dan jumlah SDM yang memadai. “Terkait SDM konstruksi, kapasitas SDM yang berkualitas adalah kunci keberhasilan penyelenggaraan Infrastruktur. Untuk itu harus kompeten dan bersertifikat sesuai Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi”, demikian disampaikan Dirjen Bina Konstruksi Syarif Burhanuddin, yang mewakili Menteri PUPR, saat membuka Musyawarah Nasional 2018 Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) yang mengambil tema ‘INKINDO Mandiri Demi Keunggulan Negeri, Kamis (22/11) di Semarang.
Namun saat ini, jumlah tenaga kerja konstruksi bersertifikat saat ini masih belum memenuhi kebutuhan Pembangunan Infrastruktur yang besar. Dari total 8,14 juta tenaga kerja konstruksi, baru 10% nya yang bersertifikat, dengan latar belakang tingkat pendidikan dibawah pendidikan SMA sebanyak 5,98 Juta dan diatas pendidikan SMA sebanyak 2,15 Juta. Sertifikat yang telah dikeluarkan terdiri dari 525.857 untuk tenaga terampil (analis/teknisi dan operator) dan sertifikat tenaga ahli sebanyak 241.322. Sedangkan, dilihat dari jumlah tenaga kerjanya yang sudah tersertifikasi sebanyak 485.534 orang dengan komposisi tenaga terampil sebanyak 333.706 orang dan tenaga ahli sebanyak 151.828 orang. Dengan demikian SDM konstruksi masih didominasi tenaga terampil, yang ditunjukkan bahwa tenaga ahli hanya 4,49 % dari total tenaga kerja konstruksi.
“Dengan demikian, jumlah tenaga Ahli bersertifikat baru sekitar 150.000 orang dan berarti masih belum memenuhi kebutuhan yang mencapai 700.000 orang, atau dengan kata lain terdapat gap kebutuhan tenaga ahli hingga sebesar 550.000 orang. Disinilah peran asosiasi seperti INKINDO ini dibutuhkan, untuk mendukung terciptanya tenaga-tenaga ahli konstruksi bersertifikat”, ujar Syarif.
Solusi pemenuhan gap tersebut adalah bergerak bersama meningkatkan kompetensi tenaga ahli sehingga maju dan berdaya saing. Untuk itu Ikatan Nasional Konsultan Indonesia(INKINDO) sebagai mitra pemerintah dapat menjadi pelaku utama dalam mewujudkan program percepatan pembangunan dengan menyiapkan tenaga ahli jasa konstruksi, turut mengawal tertib penyelenggaraan konstruksi, dan mengembangkan kemitraannya dengan stakeholders jasa konstruksi lainnya. Sebab asosiasi adalah ujung tombak (hulu) dari sebuah karya konstruksi untuk pembinaan dan pengawasan kepada para anggotanya.
Dengan adanya asosiasi pula diharapkan tenaga ahli muda seperti fresh graduate tertarik masuk ke industri jasa konstruksi. Karena menurut data tenaga ahli madya lebih banyak dibandingkan tenaga ahli muda, serta sebaran tenaga ahli juga masih terpusat di pulau Jawa yaitu 65 %, di Sumatera 17 %, dan sebaran terkecilnya yaitu 1 %nya di Maluku-Papua.
Sementara itu Ketua Umum INKINDO Nugroho Pudji Rahardjo menyampaikan bahwa pada Munas 2018 ini targetnya adalah menghasilkan dua hal, yaitu : roadmap INKINDO sehingga INKINDO memiliki tujuan yang jelas, dan menjadi asosiasi yang mandiri, serta dihasilkan tata cara pemilihan dengan E-vote, dimana hal ini pertama dilakukan oleh Asosiasi Perusahaan. “Kami juga mengharapkan semoga dengan segera ada Undang-Undang Jasa Konsultansi diluar Jasa Konstruksi untuk mengayomi pekerjaan konsultansi. Apalagi saat ini terdapat disharmoni regulasi terkait konsultan antara konsultan dengan aparat penegak hukum. Kami juga berharap kenaikan billing rate pekerjaan konsultan sebab saat ini masih rendah padahal konsultan adalah bagian dari pembangunan”, ungkap Nugroho.
Terkait dengan hal tersebut Pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja konstruksi diantaranya dengan menyiapkan berbagai pengaturan seperti : Pengaturan standar remunerasi minimal tenaga ahli bidang konstruksi sesuai amanah Undang-Undang Jasa Konstruksi; Meningkatkan nilai maksimal pengadaan langsung pekerjaan konsultansi, dari Rp 50juta menjadi Rp 100juta, sebagai tertuang pada Perpres nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ; Penghapusan persyaratan Sertifikat Keahlian dan Sertifikat Keterampilan (SKA/SKT) dalam tender sesuai Permen pengganti Permen PUPR nomor 31 Tahun 2015, dan seterusnya.
Dengan adanya pengaturan-pengaturan tersebut diharapkan minat untuk bekerja sebagai tenaga kerja konstruksi jenjang ahli meningkat dan mendorong meningkatnya kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi nasional. (tw)