CEGAH PERMASALAHAN PEKERJAAN KONSTRUKSI, PELAKU KONSTRUKSI HARUS TELITI KONTRAK

Banyaknya pembangunan infrastruktur yang dibangun Pemerintah saat ini memerlukan pengawasan terutama dalam aspek tertib penyelenggaraan yang menjamin kesetaraan antara pengguna dan penyedia jasa, sekaligus meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi yang ada.

 

Permasalahannya hingga saat ini, para penyedia dan pengguna jasa konstruksi umumnya hanya melihat jumlah atau nominal kontrak dengan jangka waktu yang tertera di dalam kontrak. Tanpa melihat lebih dalam tentang hak dan kewajibannya dalam proyek penyelenggaraan konstruksi. Akibatnya, tidak jarang proyek pekerjaannya mengalami permasalahan dikarenakan tidak melakukan pekerjaan berdasarkan kontrak atau regulasi yang berlaku.

“Selama ini kontraktor sering mengesampingkan peran konsultan dan langsung bekerja sepihak antara pemilik proyek dengan kontraktor. Padahal menurut hirarkinya kontraktor berkonsultasi dengan konsultan baru konsultan bekomunikasi dengan pemilik proyek/owner. Jika ketiganya bekerja selaras sesuai regulasi yang berlaku akan menghasilkan proyek pekerjaan yang efisien, aman dan tepat waktu.” demikian disampaikan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin saat memberikan sambutan dalam acara Sosialisasi Panduan Pencegahan Korupsi untuk Dunia Usaha Konstruksi, Kamis (25/07) di Jakarta.

Selain itu, menurut Syarif, jumlah pelaku usaha jasa konstruksi nasional saat ini sangatlah besar. Hal ini menunjukan besarnya partisipasi dari pelaku usaha dunia konstruksi Indonesia. Namun distribusinya masih di dominasi oleh pelaku usaha besar, sedangkan pelaku usaha konstruksi berkualifikasi kecil dan menengah masih belum memiliki dukungan manajemen dan keuangan yang mumpuni sehingga membutuhkan pendampingan agar menjadi lebih profesional.

 “Pemerintah hingga saat ini terus mendorong para pelaku usaha jasa konstruksi nasional baik berkualifikasi kecil, menengah hingga besar untuk terus meningkatkan kualisifikasinya. Dari kualifikasi kecil menjadi menengah dan yang menengah menjadi berkualifikasi besar.” Tutur Syarif.

Hal yang serupa juga terjadi pada pemetaan tenaga kerja konstruksi dimana tenaga kerja ahli dengan kualifikasi muda dan tenaga kerja terampil kualifikasi kelas 1 lebih mendominasi daripada kualifikasi lainnya. Kesenjangan ini perlu ditindaklanjuti dengan menggandeng Asosiasi-asosiasi dalam menjalankan kewajiban sesuai peraturan perundangan dan mendukung kebijakan Pemerintah Pusat dalam sebuah sinergi bersama dalam membina para anggotanya.

Untuk itu, pemerintah mengeluarkan PERMEN PUPR NO. 5 TAHUN 2015 tentang remunerasi jumlah tenaga kerja ahli, dimana pada remunerasi yang didapat harus disesuaikan agar mendapatkan hasil yang sesuai. Hal tersebut agar tidak lagi terjadi para sarjana teknik/ insinyur muda bekerja tidak sesuai dengan bidang pendidikannya. Syarif juga menjelaskan tentang sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang hingga saat ini masih dianggap menjadi syarat untuk melakukan lelang. Padahal sesungguhnya sertifikasi merupakan syarat untuk bekerja. Akibatnya banyak sekali tenaga kerja konstruksi yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik tapi tidak memiliki sertifikat atau tidak terjamin kemampuannya.

Disampaikan pula oleh Dirjen Bina Konstruksi, jika sebelumnya Direktorat Jenderal Bina Marga menangani pekerjaan mulai dari Perencanaan, pengadaan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasi. Namun saaat ini Kementerian PUPR telah melakukan re-organisasi. Hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah.

Untuk itulah, proses pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini sangatlah penting dan perlu ditingkatkan lagi. Karena hal ini dapat membantu para penyedia dan pengguna jasa konstruksi untuk membentuk profesionalitas dan kode etik para pelaku jasa konstruksi. (dri/tw)

SEBARKAN ARTIKEL INI!